Starry Sun

Kamis, 20 Oktober 2011

cintaku terpendamkan


            Seperti biasa sepulang kerja aku pergi ke rumah sakit untuk menjaga sahabatku Adit. Sudah 3 bulan ini dia masuk rumah sakit dan divonis menderita kanker otak stadium 3. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia menyembunyikan sakit ini pada keluarganya. Ia tidak mau keluarganya tau dan panik. Hingga pada suatu ketika ia terjatuh dari kamar mandi dan masuk rumah sakit. Setelah di cek ternyata Adit mengidap penyakit mematikan itu. Keluarganya shock dan terpukul.

            Beberapa hari setelah Adit masuk rumah sakit, ia mengalami koma. Dan koma itu berlanjut hingga hari ini, 3 bulan sudah Adit koma di rumah sakit. Karena Adit adalah anak rantauan dari Palembang yang merantau ke Jakarta-sama sepertiku, jadi keluarganya tidak bisa berlama-lama berada di Jakarta. Orangtuanya memberi amanat padaku untuk menjaganya di rumah sakit. Jadilah aku datang ke rumah sakit sepulang kerja, dan menjadikan kamar Adit sebagai rumah baruku.  Ibunya Adit sudah mengenalku sejak lama. Seminggu sekali ibunya datang ke Jakarta untuk melihat keadaan Adit.
            Besok keluarga Adit datang ingin melihat keadaan anak mereka. Malam ini aku menginap di ruangan tempat Adit dirawat. Aku berganti pakaian kerja dengan pakaian santai. Kemudian duduk di samping ranjang Adit dimana ia terbaring lemah. Ku genggam tangannya dan ku usap dahinya.
            Adit, seorang sahabat yang baik hati. Sampai-sampai aku menaruh hati padanya. Aku mencintainya, aku menyayangi dia, selama ini kami hanya bergandengan dengan status sahabat. Aku belum berani memberitahunya tentang perasaanku. Kami menjalani waktu bersama setiap hari, menimbulkan kupu-kupu beterbangan di perutku.
Setiap detil perhatiannya, sangat berharga bagiku. Setiap detil senyumannya, menjadi semangat hariku. Setiap kali ku berdoa, selalu ke sebut namanya. Aku berdoa ia cepat tebangun dan sembuh agar aku bisa hidup  berdampingan dengannya. Aku ingin ia terbangun dan mengetahui perasaan yang berteriak ingin keluar dari kalbuku. Dia belum tau tentang perasaanku.
            “Aku suka caramu memperlakukanku, menatapku dengan hangat, menggenggam tanganku saat kita bergandengan, berbagi cerita bersama, berbagi waktu, canda tawa,” mataku berkaca-kaca. Aku masih menggenggam tangannya.
            “ Aku rindu semuanya Adit. Tolong bangunlah untukku, aku sangat merindukanmu. Aku rindu sosokmu yang selalu ada untukku. Sangat tidak nyaman rasanya sendirian di kota Jakarta ini tanpa kehadiranmu di dekatku. Aku harap kamu bisa mendengar setiap aku berbicara denganmu,” air mataku menetes dan terjatuh di tangan adit.
            “Kamu mau kan kayak dulu lagi? Nunggu aku selesai kerja dan kamu menjemputku untuk menghabiskan malam minggu bersama. Kamu mau kan aku temenin ngerjain tugas? Kamu mau kan aku bawain bahan makanan terus kita masak bareng di kontrakan kamu? Kamu mau kan Dit?,” kataku lirih sambil terus menggenggam erat tangannya.
            “Semoga kamu dengar setiap aku berdoa untuk kamu Dit, i love you,” aku mencium keningnya dan merebahkan kepalaku di sisi ranjang dengan tangannya yang masih ku genggam. Ku tutup malam dengan sedikit lembab di sela-sela mataku. Tanpa sepengetahuanku, Adit meneteskan airmatanya dalam diam.
            Hari ini aku sengaja tidak pergi kerja, aku ingin menunggu ayah dan ibu Adit disini. Ibunya tadi menelponku memberitahuku bahwa mereka akan sampai di Jakarta pukul 2 siang.
            “Dit, ibu mau kesini loh kali ini sama ayah, kamu pasti seneng banget. Aku nggak kerja, mau nemenin mereka disini. Kamu bangun ya hari ini, biar bisa ngeliat ibu sama ayah kamu,” kataku berbicara padanya. Aku sering mengajaknya berbicara seperti itu. Ku usap rambutnya yang halus dan ku basuh tangannya dengan air hangat.
            Jam 3 tepat, ibu dan ayahnya Adit sampai di rumah sakit. Mereka membawakan oleh-oleh makanan untukku.
            “Gimana Adit? Udah ada respon nggak dari dia?,” tanya ibu sesaat setelah  sampai disini.
            “Ya masih gitu-gitu aja sih Bu, Sela nggak pernah ngeliat dia gerak,” kataku miris.
            “Yang penting semua udah berdoa untuk kesembuhan Adit,” kata ayah.
            “Kamu cepat sembuh ya Nak, Ibu sama ayah kangen ngeliat senyum kamu. Kamu pasti pengen meluk Ibu kan? Ibu kangen sama kamu Adit,” kata ibu sambil menggenggam tangan Adit.
            “Terima kasih ya Sela udah selalu ngejagain Adit selama dirawat disini,” kata ayah.
            “Iya Yah, Sela seneng kok bisa ngejagain Adit. Semoga Adit cepet sembuh,” kataku.
            Tiba-tiba tangan Adit yang sedang digenggam ibunya bergerak.
            “Eh, tangan Adit gerak,” seru ibu.
            Beberapa detik kemudian, mata Adit bergerak-gerak. Kami semua spontan girang. Aku langsung memencet tombol darurat di dekat ranjang Adit. Matanya terbuka sedikit-demi sedikit.
            “Adit, kamu akhirnya bangun juga, Alhamdulillah.” kataku. Ibu dan ayah juga tidak berhenti berucap syukur dan bergantian mencium dahi Adit sebagai tanda sayang.
            Matanya sayu, melihat ke arahku. Melihat ke arah ibu. Dan melihat ke arah ayah. Ia melepaskan genggamannya dari tangan ibu dan tangannya mengarah padaku. Aku ambil tangannya dan ku genggam.
            “Aku seneng banget kamu udah bangun Dit. Ada banyak cerita yang mau aku bagi sama kamu,” kataku. Genggamannya lemah, semakin lemah dan akhirnya tak bertenaga. Matanya perlahan tertutup lagi dan kemudian tidak ada tanda-tanda ia bergerak.
            “Ini kenapa? Adit kenapa?,” ibu histeris dan panik melihat Adit kembali menutup matanya.
            “Tenang Bu,” ayah berusaha menenangkan ibu.
            Dokter dan seorang suster masuk ke dalam ruangan dengan membawa peralatan. Aku, ibu dan ayah disuruh menunggu diluar. Ibu menangis di pelukan ayah sedangkan aku terduduk lesu menutup mukaku dengan tangan sambil menangis. Jagalah orang yang aku cintai ini Tuhan, aku mohon sembuhkanlah dia. Aku belum sempat memberitahunya tentang perasaanku. Aku mohon padamu Tuhan, aku mohon. Aku berdoa dalam hati.
            Dokter keluar dari ruangan, ia menunduk.

            "Bagaimana keadaan anak saya Dok?," tanya Ayah.
            “Maaf, kami telah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Tuhan berkata lain, ia sudah tiada,” katanya.
            “Dokter bercanda kan?,” kataku mengguncang tubuhnya.
            “Saya tidak mungkin bercanda. Selamat siang,” ia pun berlalu.
            Kami bertiga masuk ke dalam ruangan. Suster baru selesai melepas semua alat yang terpasang di tubuhnya dan menutup selimut hingga ke atas kepala Adit.
            “Suster pasang lagi alat-alatnya. Anak saya masih hidup suster,” teriak ibu histeris sambil mengguncang tubuh suster itu.
            “Sudah Bu, Adit udah tiada,” ayah berusaha menenangkan.
            “Maaf Bu, anak Ibu udah nggak ada,” kata suster itu.
            “Anak saya masih hidup,” seketika itu juga ibu terjatuh. Ia pingsan, ayah dan suster itu menopang dan membawa tubuh ibu keluar. Sedangkan aku masih di samping ranjang Adit.
            “Kamu jahat sama aku Dit!! Kenapa kamu tinggalin aku?,” aku memeluk tubuhnya yang sudah kaku. Tubuhnya masih hangat, aku masih merasa keberadaannya.
            “Kamu tega banget ninggalin aku Dit, aku sayang sama kamu. Kamu belum tau perasaan aku, kenapa kamu ninggalin aku secepet ini?,” airmataku sudah membasahi bajunya. Aku belum bisa menerima Adit sudah pergi meninggalkanku selamanya.
            “Dit bangun Dit banguuuuuuunn, aku butuh kamu Adit banguuuun,” teriakku histeris. Setelah itu kepalaku sakit, mataku mulai gelap. 3 detik kemudian benar-benar gelap.-

-
--------***----------

kata kunci : cerpen tentang cinta, cerpen tentang kehilanganseseorang yang dicintai untuk selamanya, cerpen tentang cinta diam-diam

2 komentar:

penulis sangat membutuhkan kritik, saran serta semangat :)