Kau buru aku dengan macam rupa persoalan
Apa, bagaimana, kapan, seperti apa
Buih-buih busa bermunculan dari mulut
Letih menjawab
Tidakkah kamu lupa?
Perihal waktu yang tak bisa dipermainkan
Perihal waktu yang tak bisa diterka
Perihal waktu yang tak bisa kau miliki
Bahkan angka-angka pada layar komputermu
Tak serta merta dapat menaksir
Bagaimana laluannya masa depan
Lagi-lagi kau desak aku
Apa, bagaimana, kapan, seperti apa
Bukankah jalannya jam terus ke arah kanan
Maka tinggal lalui
Resapi
Pahami
Dalami
Hingga kita bisa mulai lembar yang baru
Dan mulutmu bungkam
Tak mempertanyakan lagi perkara itu
----------***----------
Tema: Masa depan
Untuk buku Malam Puisi Palembang
Jumat, 30 Oktober 2015
Kapan Kita Bisa Memulainya
Minggu, 25 Oktober 2015
Kabar Kabut Kepada Kawan
Fajarnya tak lagi syahdu, kawan
Merahnya padam dibawa kabut nan rimbun secara biadap
Anginnya debu berupa abu-abu kelabu
Segarnya hilang mengerutkan paru menggersangkan kalbu
Paru-paruku serupa mengkudu alum dan menciut
Siangnya tak terik lagi, kawan
Padatnya kabut memayungi kepala bumi
Wangi-wangi kami menjadi serupa, tak lagi rupa-rupa
Asap, debu dan abu melekati helaian rambut
jalan-jalan berselimut serbuk-sebuk
Senjanya tak rupawan lagi, kawan
Kami kehilangan terminal menuju malam
Retas pula hati para pujangganya
Sebab lesaplah salah banyak sumur inspirasinya
Termangu menanti senja kembali pulang pada peraduan
Malam kami tak berbintang lagi, kawan
Bintik-bintik kecilnya tak lagi berpendar
Pijarnya terlalu ringkih tuk mengemban tugas pancarkan bumi
Meringkas malam lebih lekas dari biasanya
Sebab gemintang telah patah hati pada bumi pertiwi
Tidur kami tak lelap lagi, kawan
Menyesap asap terlalu khidmat
Malam kami mencekam kala malam makin meninggi
Sesaknya sampai tak karu-karuan megkhawatirkan kami
Kelak pada suatu subuh, kami tak sanggup membuka mata lagi
Barangkali satu persatu bunga gugur bertabur di makam nanti
Merahnya padam dibawa kabut nan rimbun secara biadap
Anginnya debu berupa abu-abu kelabu
Segarnya hilang mengerutkan paru menggersangkan kalbu
Paru-paruku serupa mengkudu alum dan menciut
Siangnya tak terik lagi, kawan
Padatnya kabut memayungi kepala bumi
Wangi-wangi kami menjadi serupa, tak lagi rupa-rupa
Asap, debu dan abu melekati helaian rambut
jalan-jalan berselimut serbuk-sebuk
Senjanya tak rupawan lagi, kawan
Kami kehilangan terminal menuju malam
Retas pula hati para pujangganya
Sebab lesaplah salah banyak sumur inspirasinya
Termangu menanti senja kembali pulang pada peraduan
Malam kami tak berbintang lagi, kawan
Bintik-bintik kecilnya tak lagi berpendar
Pijarnya terlalu ringkih tuk mengemban tugas pancarkan bumi
Meringkas malam lebih lekas dari biasanya
Sebab gemintang telah patah hati pada bumi pertiwi
Tidur kami tak lelap lagi, kawan
Menyesap asap terlalu khidmat
Malam kami mencekam kala malam makin meninggi
Sesaknya sampai tak karu-karuan megkhawatirkan kami
Kelak pada suatu subuh, kami tak sanggup membuka mata lagi
Barangkali satu persatu bunga gugur bertabur di makam nanti
Senin, 19 Oktober 2015
Serupa Inilah Caraku Melupakanmu
Lagi lagi tentang aku yang grasak-grusuk melupakanmu. Tidak ganjil karena memang itu bukan hal mudah yang bisa dengan sekali jentikan jemari terwujudi. Menimbang-nimbang apakah ini akan berlalu dengan lekas, atau aku harus menikmati beberapa fase selit-belit lagi. Menahan debar demi debar kala romansa itu dengan tidak tahu dirinya menyembul secara gamblang.
Senin, 12 Oktober 2015
Melanjutkan Perjalanan
Detik jam menemani deraian air mata yang tak lelah merayap turun. Ada begitu banyak barisan kata yang ku tulis malam ini. Entah itu marah, sedih, gembira dan kesal menjadi satu. Bahkan tetesan air hujan yang mengetuk-ngetuk dari balik kaca malam ini pun tak mengganggu konsentrasiku melanjutkan curahan ungkapan perasaan yang selama ini tak pernah terungkapkan. Jelas ada begitu banyak tinta yang meluber di atas kertas putih itu selama aku menulis. Terserah. Bahkan aku sudah tidak peduli lagi bisa atau tidak kamu membacanya.
Selasa, 06 Oktober 2015
Hati Hari Ini
Hari ini, ku tilik ke dalam diri
Ada sebongkah hati yang telah lama tak ku mengerti
Ia berserakan, bekas dirobek tangan-tangan masa lalu
Ia dicaci sedemikian tak manusiawi
Hingga compang-camping
Istirahatlah, wahai puan
Tak hentinya bermuram durja
Tak henti-hentinya bersekarat ria
Puan yang baik hatinya, yang sekarat hatinya
Hari ini ku tilik ke dalam diri
Ada sebongkah hati yang telah lama tak ku pahami
Lantas telah membaik dari sejak beberapa abad lalu
Hanya saja lukanya, hanya saja darahnya
Membekas tak lekas pulih
Istirahatlah, wahai puan
Sebab hati tak butuh obat ampuh paling ampuh
Tak butuh tangis paling merana pula
Sebab hati hanya butuh waktu
Sebagai penawar hati yang membiru dan memburu
Aku percaya puan
Bahwasanya hati mengemas haru paling biru
Pula menyimpan kemilau paling silau
----------***----------
Tema: Hari ini
Untuk buku Malam Puisi Palembang
----------***----------
Tema: Hari ini
Untuk buku Malam Puisi Palembang
Langganan:
Postingan (Atom)